p.s. this story will be written in lowercase for personal satisfaction, i’m sorry if there’s any inconvenience when reading it. more or less, it’s about a love story between two men. if you’re homophobic or simply not comfortable with this kind of thing, you may leave. thank you.
💫
waktu itu mungkin pertama kalinya mereka berdua dengan bandelnya pergi ke sebuah kafe. jungkook lebih ke diam saja, manut ke mana pun kakak sekaligus sahabatnya itu menjadi begitu bengal. taehyung, yang lebih tua, memutuskan untuk menggunakan uang yang diberi oleh sang kakek untuk membawa dirinya dan jungkook ke sebuah restoran. tidak besar, tidak pula begitu mewah. hanya beberapa hiasan lampu-lampu berwarna kuning yang cantik, suasana yang penuh bunga, dan yang paling jungkook sukai adalah rak buku. taehyung mengira tak apa, kakek tidak mungkin marah hanya karena ia korupsi uang sedikit. lagi pula kalau hendak berdebat, uang itu sudah menjadi miliknya seratus persen, jadi masa bodoh.
“oke, jung, pesen apa aja yang kamu mau. aku siap traktir,” cengiran menjadi tawaran yang menarik dari raut muka sok jumawa milik taehyung kecil. rambutnya yang usang itu jadi makin terlihat, membuat jungkook tersenyum kecil. ia hanya manggut-manggut. “jangan diem gitu, dong. kamu nggak suka?”
“bukan!” jawab jungkook, rautnya menjadi begitu panik saat wajah usang taehyung berubah jadi murung. “justru aku bingung ini kamu dapet uang dari mana mau bayar untuk dua orang? aku nggak bawa uang sama sekali, taehyung. takut nanti dipanggil polisi kalau nggak bisa bayar.”
“aduh, udah nggak usah dipikirin. uang segini itu besar, jungkook! kamu nggak usah gaduh ya! shush!” taehyung menegur si bocah kecil, kemudian bersikeras menggenggam tangan jungkook untuk ikut masuk ke dalam.
restoran ini memang sangat mengagumkan, taehyung tidak berlebihan ketika bocah itu berdeham sebentar, kemudian memesan dua kopi. sang waitress tersenyum mafhum, ia menarik tangan kedua bocah itu, kemudian menyarankan untuk menyajikan kopi dicampur susu saja karena taehyung tadi sempat ingin memesan espresso — dan dia memasang wajah yang menunjukkan aku seperti papa saat itu.
“udah pesen, sekarang kita duduk di pojok sana ya. kamu duduk aja dulu, aku mau pipis!”
taehyung lari terbirit-birit, kemudian jungkook hanya terdiam pada berdirinya. ia sungguh tak tahu tanpa si kakak besar, ia juga takut menentukan tempat duduk sendiri maka ia hanya diam menunggu. dengan sangat baik karena ia selalu yang terbaik ketika terdiam.
💫
“udah dibawa semua?”
“iya, udah. sepatu, kaus kaki, udah semuanya.”
“selimut?”
“astaga,” taehyung mendecak gemas, ia meraih selimut di kasurnya yang memang belum sempat ia tata, lalu memasukkannya ke tas jinjing besar untuk dibawa ke camp. “kamu nggak papa aku tinggal sendiri, nih? soalnya aku bisa cancel urusan ini, anytime.”
jungkook menirukan wajah seolah sedang muntah. “duh! kamu wakil ketuanya, please? jangan ngada-ngada. lagian aku nggak papa. mama dinas ke luar kota, papa di rumah kakek soalnya kakek sakit.”
“mama jeon ke luar kota lagi?”
jungkook paham intonasi itu. ia mulai mengerti ketika taehyung mengucapkan beberapa kalimat sesuai intonasinya masing-masing. hanya dari alis mata pemuda itu saja jungkook bisa membaca apa yang dirasakannya. pertanyaan itu tak butuh jawaban, hanya retoris tak bersisa yang penuh dengan kalut, marah, juga bingung.
“iya, tapi aku nggak papa, kok. udah biasa.”
taehyung pernah berteriak dan berkata bahwa justru dengan jungkook terbiasa itu adalah hal paling kejam yang pernah ada. tapi jungkook tak mau tahu. lagi pula dari dulu ia selalu yang terbaik ketika berdiam, ia selalu yang terakhir mengeluarkan perasaan. kebiasaan itu membuatnya tetap hidup dan waras, dibantu beberapa pil tidur yang sempat disembunyikannya dari taehyung untuk yang keribuan kalinya.
💫
pada beberapa waktu, jungkook tahu bahwa rumahnya tidak memberikan oksigen atau partikel apa pun. ia percaya bahwa jika pun ada, seharusnya nitrogen saja — berdasarkan bacaan bahwa nitrogen digunakan untuk hukuman mati yang paling “nyaman” karena menimbulkan paling sedikit rasa sakit. namun, menurutnya, tuhan adalah sebuah lelucon. tuhan pun mungkin tidak mengerti lelahnya menjadi sesuatu yang tidak di atas tidak pula di bawah, sibuk kebingungan antara melangkah atau menelan kematian.
mama pernah beberapa kali ketahuan berselingkuh. infidelity, jungkook menorehkan stabilo kuningnya di atas lembar kertas dari novel yang ia baca. mungkin itu sebabnya mama tidak pernah membaca tulisannya, atau mungkin itu sebabnya papa selalu terdiam tidak tahu harus menjelaskan apa padanya. jungkook tidak peduli apakah itu masuk akal atau tidak, ia hanya butuh beberapa hal untuk disalahkan agar tetap waras, meski nyatanya tidak semudah yang terkatakan di hati.
ketika papa menanyakan tentang ketidaksetiaan mama, jungkook tidak pernah menjawabnya. saat kecil, ia justru berlari menuju balkon, tangan yang bergetar dan angin yang begitu dingin membuat tangisannya mengering meski tak pernah berhenti. jemarinya bergerak tak tentu, hendak memencet nomor siapa pun yang bisa dihubungi agar setidaknya ia ingin tahu apakah mulutnya masih bekerja. namun, kalut menelannya penuh. jemarinya tak pernah sampai saat ingin meminta tolong seseorang. justru kaca pecah menjadi alasan untuknya menyembunyikan tulang selangkanya yang terlihat karena kulitnya robek. hari itu tuhan mengejeknya di saat jungkook sangat rajin pergi ke gereja, meski atas paksaan mama, meski mama justru penjahatnya.
“tidur di rumahku aja, jung. bunda pasti nggak keberatan.”
taehyung menatapnya tanpa ragu. badannya makin tinggi, kulitnya makin cokelat, dan wajahnya makin tampan. jungkook mengira mungkin ini alasan teman-teman perempuan di kelasnya selalu menanyakan tentang taehyung. lagi-lagi ia hanya berdiam. memilih menurut saja. di kamarnya juga ia tak akan bisa melangkah lagi, bahkan mungkin untuk sekadar membasuh wajah.
💫
“kamu beneran nggak mau ikut camping, jung?”
taehyung tiba-tiba berada di balkon kamarnya, menatapnya dengan tatapan terluka. di tangannya yang sedikit basah karena hujan, jungkook bisa melihat kertas berisi formulir di tangan taehyung yang basah. taehyung menyaksikan formulir milik jungkook yang tidak jungkook setujui.
jungkook menatap taehyung, ia tersenyum kecil, mempersilakan taehyung untuk masuk ke kamarnya dahulu, tapi bocah keras kepala di depannya benar-benar buat pusing. hanya itu yang bisa disaksikan ketika rasi bintang di langit yang gelap justru mengejeknya.
“aku …,” tenggorokan jungkook tercekat. ia bingung harus menyusun kata demi kata agar taehyung sekiranya tidak mengetahui kebohongannya. namun, air yang seharusnya ia teguk untuk menelan bohong itu tidak pula bekerja. “aku nggak pengin kamu tau kalau aku benci lihat kamu sama cewek itu, taehyung. aku bakal jujur sama kamu, tapi kamu bakal tau konsekuensinya. hubungan persahabatan kita bakal terusik, kamu mungkin bakal menjauh dan pergi. atau mungkin kamu bakal bertahan di sini, sama aku, kayak papa dan mama, tapi kamu nggak bakal ngelihat aku sama kayak sebelumnya. aku suka sama kamu, taehyung. yang jelas udah sejak lama. sejak mungkin kita smp bareng, tapi mungkin pula sejak kita kelas dua sd dan kamu ngebawa aku ke restoran seberang sekolah. i’m so sorry. dengan semua traumaku tentang menikah, tentang hubungan, kamu harus tau seksualitasku yang udah sejak dulu berusaha aku buang. aku minta maaf buat segalanya, taehyung. aku bener-bener minta maaf.”
isakan itu berubah menjadi peluk yang begitu hangat. rasi bintang yang meneduh, bulan yang bersinar karena kasihan, taehyung memeluk jungkook. ia mungkin tidak memahami apa arti seksualitasnya, tapi yang jelas ia menyayangi bocah kecil di depannya yang sudah menjelma menjadi seorang pemuda. keduanya laki-laki dan taehyung belum mengerti apa yang akan menanti.
💫
“jadinya masih ambil jurusan yang sama?”
taehyung mengira kalimat jungkook pastinya serius, tapi wajah kekasihnya menyeringai lucu. “iya, iya, aku tau kamu bercanda. tapi kalau misal nggak pun, aku bakal jawab iya, aku masih mau ambil hukum. kamu nanya ini hampir tiap lihat aku belajar, nggak suka apa aku masuk hukum?”
“don’t get in there, sir. santai aja dong sama aku? aku cuma bercanda,” jawab jungkook manis. ia menyingkirkan beberapa helai poni milik taehyung. hari-hari seperti ini benar-benar sangat menyenangkan untuknya. hanya ia, taehyung, dan berpuluh kilometer dari rumah keduanya. semuanya terkendali, semuanya aman.
“kamu enak udah keterima. jadi daripada ngebercandain terus, mending bantuin aku belajar.” taehyung bersungut-sungut, ia benar-benar sibuk memahami kata per kata dari soal-soal bahasa inggris yang sudah seminggu lalu jadi jadwalnya. semua ini berkat jungkook, sebenarnya. sang kekasih selalu membuatkan jadwal belajar untuknya, bahkan sampai ke bab dan mata pelajaran. itu membuat taehyung lebih terstruktur dan jungkook tidak lupa selalu memberikan reward, seperti contohnya hari minggu bahagia di dekat pantai.
“masuk literature lebih gampang dari masuk law school kamu, i suppose? so, can’t help it, mr. lawyer.”
“jungie ….”
“alright,” jungkook menyerah. “kamu mau nyanyi nggak di sini?”
“what?!” taehyung tergelak. wajahnya yang sedari tadi terpaku pada buku sejarah setebal benua itu sekarang nampak lucu. memerah sampai tengkuk maupun telinga. dari caranya membolak-balik lembaran buku dengan tergesa seakan mengalihkan perhatian, membuat jungkook benar-benar geli. tidak pernah sekalipun taehyung bisa bohong darinya dan jungkook tahu melebihi siapa pun seberapa indah suara tenor sang kekasih. “you have got to be kidding me.”
“go on, just sing our songs, it would be really great for me,” jungkook memaksa, sedangkan taehyung tak pernah siap dengan wajah yang bulat nan manis itu. mereka berada sangat jauh dari rumah, mereka berada di atas awan-awan yang hangat. taehyung rasa, tidak apa untuk mencoba.
maka lantunan suara itu mulai menggema. para penonton terdiam, menikmati bagaimana lagu “bidadari” membuat suasana romantis. taehyung menghipnotis jungkook untuk selalu bersamanya. sedari awal mereka bertemu, jungkook sudah tahu mungkin mimpi-mimpi yang begitu jauh itu entah akan tergapai atau tidak. sebab semuanya terasa begitu berat dan mungkin salah satu dari mereka akan gugur.
💫
“tapi aku nggak bisa!”
“kita selalu nggak bisa selama ini, taehyung!” jungkook mulai menangis, kakinya gemetaran berusaha memapah badannya yang lemas luar biasa.
segalanya menjadi bencana sebab taehyung mungkin tak pernah sehancur ia. taehyung tak pernah mendapati malam-malam yang panjang tanpa bisa terlelap sampai harus minum susu sebanyak-banyaknya agar otaknya lemas. jungkook sudah rusak sejak awal, ia tak peduli kehilangan segala hal yang ada di hidupnya sebab ia memang ingin kabur dan tak pernah menoleh ke belakang lagi.
nyatanya, taehyung tidak begitu.
ia tak memantaskan diri untuk mengecewakan segala hal di hidupnya. rumah hangat dan aman, harapan tentang kedua orang tuanya, derajat hidup yang tinggi. mama dan papanya selalu menginginkan cucu laki-laki dan taehyung tidak bisa membuat mereka menangis.
taehyung mengira ini hanyalah fase. jungkook yang cantik meskipun laki-laki, yang memang bisa membuatnya terbius morfin selama ini hanyalah fase. semua akan berlalu dan ditinggalkan. perkataan ini mencekat lehernya, menghunjam dirinya sendiri bahwa ia adalah yang terkejam di semesta.
“jungie …” isakan itu menggema. di ruang auditorium ini, kursi-kursi masih berjejer. suasana teatrikal masih melekat. harumnya mawar, tepuk tangan riuh penonton, suara caci maki yang terlempar. taehyung mengira mereka sedang berada di situasi teater, sedang beradu peran. ada para figuran yang menangis dan merangkak, para ibu yang menyususi bayinya, anak kecil yang bermain gundu dan tertawa.
ada rasa di mana perannya nyata. hidup yang tuhan pilihkan telah berjalan. suara-suara organ di gereja dari pipa-pipanya yang besar, menggaung menelan tangisan seolah drama ini bercerita tentang jean valjean. taehyung meringis. dalam sudut matanya, jungkook. terlempar begitu jauh dengan bayang yang menyempit. jungkook kecilnya tak bisa bertahan dengannya. ia begitu menderita selama ini, dibutakan oleh janji-janji palsu taehyung tentang dunia yang patut diperjuangkan.
tanpa sadar ia melihat jungkook lagi dari ribuan kehidupan lampau. jungkook yang pergi meninggalkannya di tengah pertempuran, jungkook yang mati menahan sakit karena pil yang ditelan, jungkook yang berpisah dengannya di stasiun kereta api. semua adalah jungkook-nya. ternyata tuhan mempertemukan mereka di tiap kehidupan, untuk kemudian dipisahkan, dan belum satu pun terungkap mengapa taehyung harus diperlihatkan rangkaian film teatrikal ini.
“taehyung …,” jungkook tersenyum kecil, air matanya menetes deras seperti ketika seluruh dunia menyakitinya. tapi ini adalah taehyung! sang kekasih, sang nomor satu, sang penyelamat, sang penyembuh. seharusnya jungkook tahu sedari awal taehyung menganggap semua ini hanyalah ilusi. hanya fabrik semata yang bisa robek sewaktu-waktu ia bosan. “selama ini kita nggak pernah nyaman, nggak pernah nggak takut. kita selalu berusaha lari, berusaha bohong sama sesuatu yang sebenarnya udah nyekik kita dari dulu. aku tau kamu mungkin nggak senekat itu, opsi itu selalu ada di aku. nggak papa, pergi aja.”
papa dan mama nantinya akan pergi, mereka akan jungkook tinggalkan. mungkin taehyung juga. mungkin jungkook hanya akan kolaps berkali-kali, merintih tak kunjung berhenti. mungkin dia tidak akan pernah nyenyak terlelap. tatapan taehyung yang sakit, tatapan yang memutuskan perkara. jungkook terdiam. manis-manisnya sang kekasih memang bukanlah manis yang abadi.
💫
beberapa tahun yang lalu, jungkook mungkin masih menyukai macchiato yang pahit, tapi sekarang ia berusaha untuk hanya menyukai teh. meski di kafe kopi sekalipun, meski tak ada taehyung sekalipun.
lima belas tahun sudah berlalu dan ia masih di sini. ia melalui bertahun-tahun tidak bisa terlelap. berkali-kali ia hanya tidur di kolong meja kantornya, selalu terbangun ketika al si janitor membangunkannya dengan lembut untuk bersih-bersih. lima belas tahun sudah berlalu dan jungkook masih saja di sini, terempas perkara, menahan sakit yang tak akan pernah sembuh meski waktu berhenti.
lagu “bidadari” di kafe pinggir pantai ini selalu mengingatkannya pada taehyung, si cinta pertama, si cryptonite berwajah candu yang menawannya dengan kejam. jungkook masih di sudut ini. semua orang berlari, semua orang bergerak menata hari dan hidup, tapi jungkook sebenarnya tak pernah peduli, nyaris tak pernah bisa mati.
karena di sinilah tepat ketika taehyung meninggalkannya. waktu mungkin berjalan untuk orang lain, tapi tidak dengan jungkook. ia hanya menjadi pecahan berkeping-keping, yang ditelan ombak pantai dan tak pernah merangkak lagi.
💫
hidup pernah mengempasku berkali-kali. orang-orang berkata si pangeran pasti hanya mengalami hari buruk. mereka meludah, pergi, bersama daun-daun yang gugur. tapi itulah hidup, orang tak peduli, mereka punya meja dan ruang tamu yang harus selalu bersih daripada mengurus sebuah bunga yang nyaris mati.
cinta itu selalu tumbuh. meski sudah di sana, hilang bersama sesuatunya yang cantik. ada waktu di mana ia pasti mengingatku. ketika bersama film dan lagu. sudah pasti, cintaku hanya sekali dan ternyata tak pernah kembali.
💫
tata, 2022. for the dearest, p.
support me on trakteer.id/paopiper
please kindly submit your review here: bit.ly/reviewpdfrwylm